Monday, November 16, 2015

SILENCIO INCOGNITO Hari ke-10 : Fatamorgana

Hari ke-10 :  Fatamorgana
Ketika manusia sampai pada batas kekurangan atau mengalami penderitaan yang sangat, maka dorongan untuk memenuhi kebutuhan atau keluar dari situasi kritis itu sangat besar. Dorongan yang sangat besar itu pertama-tama mempengaruhi pikiran untuk berkhayal atau bertindak. Bahkan orang yang mengalami dehidrasi di padang gurun, akan jelas melihat khayalannya tersebut. Bayangan semu yang menipu itu disebut fatamorgana.
Dorongan bukan hanya muncul karena situasi kritis, melainkan juga karena melihat kehidupan orang lain yang lebih baik, status orang lain yang lebih terhormat. Maka muncullah keinginan untuk sama seperti orang tersebut, dan kita menyebutnya cita-cita. Cita-cita inilah yang membimbing manusia kea rah mana dia akan menjadi. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang gagal dan akhirnya harus menerima kenyataan menjadi apa yang bisa mereka alami.
Yesus mengalami haus yang teramat sangat, Dia pun mengalami dehidrasi. Muncul pula halusinasi dan dorongan yang kuat untuk mendapatkan minum. Bayangan semu itu tidak membuat Dia segera pergi dari padang gurun untuk mendapatkan air atau anggur di kampung terdekat. Dorongan itu tetap Dia perhatikan dan disadari sebagai keinginan yang tidak harus dipenuhi demi  ‘laku’ yang harus Dia jalani. Situasi ini belumlah sampai pada puncaknya, dan Dia masih bisa bertahan. Meski hanya setetes dua tetes masih ada embun yang bisa melegakan dahaga-Nya.  Bayangan suasana yang teduh, taman yang indah dan nyaman, anggur yang lezat, menguap dari pikiran-Nya.
Terkadang kita pun harus berhadapan dengan kenyataan yang pahit. Namun seringkali kita tidak mampu bertahan dan menganggap situasi kita sudah merupakan keadaan yang paling. Kita merasa sebagai orang yang paling sakit, paling menderita, paling sengsara melebihi siapapun. Benarkah? Ataukah karena kita demikian rapuh sehingga mengalami sedikit tekanan saja sudah mengaduh-aduh dan berteriak-teriak? Jika kita mau mencermati, sesungguhnya yang membuat kita bereaksi berlebihan adalah pikiran kita sendiri. Masih banyak orang yang mengalami situasi lebih ekstrim dari kita, maka lebih indah jika kita bisa mensyukuri apa yang ada dan bukan mengeluh bahkan mengumpat pada Tuhan. Lebih baik kita berbuat daripada sibuk mempersalahkan orang lain dan menganggap mereka sebagai biang keladi penderitaan kita.


Pangkur -3

Jerite buwana sungsang
Sesambat luh kadya jawah sawengi
Mula mulatira tundhuk
Ajwa pijer tumenga
Jer panandhang ndayani mosik lan tuwin
Kang ana lir kanungrahan
Pantesipun den syukuri.


(Jerit penderitaan seolah bumi terbalik, keluh kesah seperti hujan semalaman. Maka tunduklah dan lihatlah mereka yang lebih menderita, jangan hanya melihat ke atas. Karena persoalan member kekuatan untuk bergerak dan tumbuh. Segala yang ada merupakan karunia, yang pantasnya untuk disyukuri.)

(14/11/2015 - Gregorius Garuda Sukmantara)

No comments:

Post a Comment