Hari ke-5 : Silencium |
Dia tidak
berkata-kata, hanya diam, menatap dalam diam. Dimana pun kita berdiri, Dia
tetap menatap kita, seolah mengajak kita untuk berbicara. Ya, Dia mengajak kita
berbicara dalam diam. Mengapa diam? Mengapa silencium? Silencium adalah diam,
silencium adalah ‘laku tapa mbisu’ tidak berkata-kata, tidak bersuara.
Pikiran kita adalah
ruang bebas, dimana kita bisa bebas sebebas-bebasnya. Selama masih ada dalam
pikiran tidak ada yang mampu menghalangi, tidak ada yang bisa menegur atau
membatasi. Kecamuknya pikiran, akhirnya terungkap melalui perbuatan atau
tindakan dan juga kata-kata. Ungkapan melalui kata-kata biasanya cenderung
menilai yang di luar, entah orang lain atau pun obyek lain. Entah pada akhirnya
memuji dan mengagumi atau pun mempersalahkan dan merendahkan. Selain itu,
kalimat atau kata-kata juga terungkap karena keinginan untuk diperhatikan dan
memperhatikan.
Dengan diam, dengan
menahan untuk berkata-kata, kita belajar
untuk mengarahkan ke dalam diri kita sendiri. Bukan menilai orang lain, tetapi
menilai diri sendiri. Bukan mencari perhatian orang lain, tetapi memperhatikan
ke dalam diri sendiri. Dengan demikian, diam kita merupakan wujud refleksi ke
dalam diri kita sendiri.
Dia menatap kita,
bukan sekedar memandang, tetapi menatap
dan masuk ke dalam. Dia mengajak kita untuk menjenguk ke dalam, ke lebih dalam,
dan ke yang paling dalam. Bersama Dia
dalam bergerak ke dalam, berarti mempersilahkan diri kita, membuka diri kita
selebar-lebarnya untuk kehadiran-Nya. Biarkan di masuk ke dalam, ke lebih dalam
sampai ke yang paling dalam.
Marilah kita jujur
kepada-Nya. Tidak ada lagi yang pantas disembunyikan dari-Nya. Upaya menyembunyikan segala sesuatu dari-Nya
hanya akan merugikan diri kita sendiri. Tidak jujur di hadapan Tuhan, bukan
Tuhan yang dirugikan, melainkan diri kita sendiri. Biasanya ketidakjujuran itu muncul karena ketidakberanian menghadapkan
dosa dan kesalahan kita dihadapan-Nya.
Dandanggula - 5
Papat kliwat
lima den kaudi
Tan pinanggih laku lelaworan
Mendhak mandhap trus atine
luruh sajroning kalbu
sagung daya lumarap mring Gusti
ndhadha gung lepatira
ngrerepe penuwun
mugi antuk pangaksama
krana asih twin kawelasaning Gusti
pinayungan sedyanira.
(Empat
penjuru mata angin terlewati, namun yang kelima masih terus dicari. Tak kunjung
bertemu karena tindak yang sembarangan. Rendah dan rendahkanlah hati,
runtuhkanlah sanubari . Semua kekuatan
lenyap di hadapan Tuhan. Mengakui segala dosa dan kesalahan, memohon dengan
mengiba, semoga mendapat pengampunan karena kasih dan sayang Tuhan. Semoga
harapan ini mendapat berkah-Nya.)
(9/11/2015 - Gregorius Garuda Sukmantara)
No comments:
Post a Comment