Hari ke-38 : PAX CHRISTI |
Yesus
telah melalui hari-hari yang berat selama di padang gurun. Hampir 40 hari telah
Dia jalani dan kini masuk hari-hari terakhir dimana Dia harus meninggalkan
padang gurun dan mulai berkarya di tengah keramaian. Selama di padang gurun,
Dia mengalami berbagai godaan dan kesemuanya mampu Dia atasi. Kini berdiri
sepenuhnya sebagai manusia dan sepenuhnya sebagai Allah. Manusia yang menjadi
pusat kedamaian karena dari dalam Diri-Nya kedamaian itu terpancar dengan kuat.
Pax
Christi, Damai Kristus. Kedamaian, suatu keadaan dimana tidak ada konflik,
suasana yang harmonis dan tenang. Sebagai manusia Dia telah membangun kedamaian
dengan diri-Nya sendiri, dengan Allah sebagai Bapa, dan dengan seluruh
kehidupan. Maka Dia pun siap untuk mewartakan dan memberikan kedamaian itu bagi
setiap manusia.
Kata
Damai, begitu indah diucapkan, begitu sering kita suarakan. Namun demikian
kedamaian dalam situasi sekarang semakin jauh dari kenyataan. Berbagai konflik
terus terjadi di seluruh dunia. Benarkah semua konflik itu bisa selesai ketika
masing-masing saling menyalahkan dan bersikukuh dengan kebenarannya sendiri?
Tidak perlu jauh-jauh melihat ke luar, di dalam keluarga kita sendiri, benarkah
kedamaian itu sudah menaungi dan mewarnai keluarga kita? Juga dalam komunitas,
lingkungan dan wilayah, benarkah kedamaian yang sesungguhnya sudah terpancar
dan bisa dirasakan oleh kita semua?
Salam
Damai, telah menjadi ritus tetap dalam setiap Ekaristi. Kita saling bersalaman
dan membagikan kedamaian, namun adakah konflik itu kemudian lenyap atau mereda
dan kedamaian itu terwujud? Ataukah Salam Damai itu sekedar ritus yang kemudian
berlalu tanpa arti dan lenyap tanpa meninggalkan bekas lagi?
Damai,
rasa itu mestinya dimulai dari diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri,
mendamaikan pikiran, perasaan dan sikap. Mendamaikan yang di luar dengan yang
di dalam. Mendamaikan yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Berdamai dengan
kasunyatan, berdamai dengan Allah, keluarga dan sesama.
Jika
kita menginginkan kedamaian, maka bisa dimulai dari bertanya pada diri sendiri,
apa yang membuat diri kita sendiri tidak merasa damai? Seringkali kedamaian itu
tidak kita rasakan karena tertutup oleh rasa sakit hati, dendam dan kebencian,
kekecewaan, atau tidak bisa menerima keadaan dan kenyataan yang telah terjadi.
Lalu apa yang menyebabkan perasaan itu terus bercokol dalam kehidupan kita?
Semua itu adalah sampah, dan tanpa sadar kita terus menyimpan bahkan memupuknya
menjadi semakin besar. Semakin lama dan semakin besar tumpukan sampah itu akan
membuat kedamaian semakin sulit untuk bisa kita rasakan. Biasanya muara dari
perasaan-perasaan itu hanyalah merasa puas. Puas kalau bisa membalas sakit
hati, puas kalau yang mengecewakan mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Puas
kalau dendam bisa terlampiaskan. Puas kalau kebencian itu bisa terungkap
melalui kemarahan. Kalau sudah puas lalu apaa…??? Benarkah kemudian kedamaian
itu terwujud? Tidak!
Selama
di padang gurun, Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana kita bisa berdamai
dengan diri sendiri, bagaimana kita bisa menerima keadaan sepahit apapun. Jika
kita bisa menerima kenyataan yang paling
pahit, maka kemungkinan merasa sakit hati menjadi sangat kecil. Jika kita tidak
mudah kecewa, tidak mudah sakit hati, tidak mudah marah dan membenci, maka
kedamaian akan lebih mudah kita rasakan.
Yesus,
dalam Dia dan dari Dia lah kita belajar dan mengalami kedamaian itu. Dia adalah
Pax Christi, marilah kita wujudkan kedamaian itu dalam kehidupan kita.
-------------------------
Gambuh
- 3
Aneng ngendi angin nyusuh,
Den luru sewindu tan ketemu,
Ati kisruh kasunyatan tan katampi,
Rinten ndalu datan turu,
Yen tan nayuh aran wisma.
--------------------------
(Dimanakah angin bersarang? Dicari
sewindu tidak akan ketemu. Hati selalu risau, kenyataan slalu ditolak. Setiap
malam tiada bisa tidur, jika tidak mampu me-nayuh yang disebut wisma)
(12/12/2015 - Gregorius Garuda Sukmantara)
No comments:
Post a Comment